Manusia hidup dan digerakkan oleh keinginan. Waktu dan segala yang dimiliki manusia diluangkan dan dipergunakan untuk merealisasikan keinginan. Tetapi sebuah pertanyaan menghadang kenyataan aksiomatik ini; iaitu keinginan seperti apa dan keinginan siapa yang patut selalu diikuti?
Manusia dalam posisinya dengan keinginan terbahagi menjadi beberapa golongan:
Pertama: manusia yang hanya mengikuti keinginan dirinya. Tidak ada yang penting baginya kecuali yang dia mahu. Barangkali dia mengira bahwa dirinya merdeka. Merdeka menentukan segala yang dia mahu. Merdeka juga berfikir apa saja yang dia bayangkan. Kebebasan memang penting untuk membentuk keperibadian. Tanpa kemerdekaan seorang manusia hanyalah angka satu yang tidak terlalu penting di tengah jutaan manusia. Tetapi kebebasan ada batasnya. Manusia yang tidak mengenal batas dirinya cenderung egois dan egosentris. Lebih jauh bahkan al-Qur’an menyebut manusia seperti ini sebagai manusia yang menyembah hawa nafsunya. Allah berfirman di surat al-Jatsiyah ayat 23:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
23. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jatsiyah (45): 23)
Rasulullah SAW juga menyebut orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya sebagai orang yang lemah.
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ. رواه الترمذي وابن ماجه وأحمد
“Orang yang pandai (kayyis) adalah yang mengendalikan dirinya dan beramal untuk (kehidupan) setelah kematian, sedangkan orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya tapi banyak berangan-angan atas (kurnia) Allah.” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Kedua : Manusia yang tidak punya keinginan kebebasan. Dia selalu didorong oleh pihak luar. Persekitarannya, rakan-rakannya, keluarganya, bahkan musuhnya. Merekalah yang menjadi pusat perhatiannya, dan selalu mendorongnya untuk bertindak. Orang seperti ini tidak punya pendirian. Apa kata orang itulah katanya. Ke manapun angin berhembus ke sanalah dia berlayar. Orang seperti ini sangat dikecam Rasulullah, Baginda bersabda:
لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا. رواه الترمذي
“Janganlah kalian menjadi orang tidak berpendirian, yang mengatakan ‘jika orang-orang berbuat baik, kami juga berbuat baik, jika mereka berbuat zalim, kami juga berbuat zalim.’ Tetapi kuatkanlah pendirian kalian, jika orang-orang berbuat baik, berbuat baiklah, jika mereka berbuat zalim, jangan kalian berbuat zalim.”
(HR at-Tirmidzi)
Ketiga : Manusia yang selalu berperang antara kemahuan dirinya dan kemahuan orang lain, dan juga kemahuan Sang Pencipta. Dia selalu ingin mendapatkan penerimaan semua pihak tetapi tidak rela mengorbankan keinginan dan cita-cita atau syahwatnya. Golongan seperti ini selalu diumbang-ambingkan dengan ketidakpastian tujuan. Peperangan sengit dan rumit terjadi dalam diri mereka. Yang mampu menemukan dirinya dalam naungan Allah akan selamat, tetapi yang terus tak mampu menemukan skala prioriti akan hidup dalam pederitaan batin dan gejolak pemikiran yang tak berakhir. Allah membuat perumpamaan terhadap orang seperti ini:
” Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS az-Zumar(39): 29)
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ آخِرَتِهِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهَا هَلَكَ. رواه ابن ماجه والحاكم وحسنه الألباني
“Barang siapa yang menjadikan pikiran-pikirannya menjadi satu pikiran yaitu pikiran akhirat, Allah cukupkan masalah dunianya. Dan barang siapa yang pikirannya bercabang-cabang di urusan dunia, Allah tidak perduli di lembah dunia mana dia akan binasa.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim dihasankan oleh al-Albani)
Semoga Allah menyelamatkan kita dari musibah seperti itu.
Keempat : Manusia yang menenggelamkan dirinya dalam keinginan Sang Pencipta. Dia hanya menginginkan keredhaan Allah. Dia tahu bahawa dia hanya makhluk yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Manusia dalam golongan ini adalah manusia luhur dan suci. Mereka menghayati firman Allah :
“Katakanlah bahawa sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.”
Tetapi beberapa tentangan serius menghadapi mereka. Tidak sedikit kegagalan terjadi jika anak Adam ini tidak berhasil menghadapi tentangan-tentangan tersebut.
Tentangan pertama adalah tentangan pemahaman. Sejauh mana anak manusia memahami apa yang Allah SWT tuntut darinya. Berapa banyak orang yang serius beribadah bahkan mengorbankan segala yang dia miliki untuk sesuatu hal yang sebetulnya tidak dituntut darinya. Berapa banyak kewajiban ditinggalkan karena melaksanakan ibadah sunnah yang tidak prioriti dalam neraca Syariah. Berapa banyak kewajiban jama'i diabaikan padahal itu menyangkut kepentingan umum disebabkan sang manusia lebih asyik dengan ibadah sendirian yang bahagiannya boleh dikurangkan. Berapa banyak bid’ah yang dianggap sunnah. Betapa banyak sunnah yang dianggap bid’ah.
Tanpa berpegang teguh pada pemahaman yang benar terhadap Qur’an dan Sunnah, sangat sulit seorang muslim dapat dengan tepat melaksanakan peranan dan tugas yang dituntut darinya.
Kesalahan yang paling parah adalah yang terjadi pada golongan yang menganggap bahawa penyerahan diri terhadap Allah adalah bersikap fatal atau yang dikenal dengan kaum Jabbariyah. Bahwa manusia hanya dituntut menyerah pada takdir, tidak perlu berusaha atau merencanakan masa depan yang baik. Iman kepada takdir mereka fahami sebagai sikap pasif terhadap usaha perubahan.
Umar bin al-Khattab pernah begitu bimbang dengan pemahaman seperti ini, ketika beliau dan beberapa sahabat hendak memasuki daerah yang dilanda wabak. Setelah bermusyawarah akhirnya diputuskan untuk membatalkan kunjungan ke daerah tersebut. Salah seorang sahabat menentang keputusan itu, dan berkata, “Apakah kita lari dari takdir Allah?” Umar bin Khaththab terkejut dengan tanggapan tersebut, lalu menjawab, “Ya kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”
Allah mengecam orang-orang yang menggunakan takdir sebagai alasan untuk tidak melaksanakan hal-hal yang seharusnya. Allah berfirman:
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آَبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya Kami dan bapak-bapak Kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) Kami mengharamkan barang sesuatu apapun.” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.”
(QS al-An’am (6): 148)
Iman kepada takdir adalah kebenaran yang wajib diyakini, tetapi hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjajah oleh masa lalu, tersiksa oleh penderitaan masa yang telah lepas, atau tertipu oleh sesuatu yang membuat kita terlena. Allah jelaskan dalam surat al-Hadid apa yang dimaksudkan dengan iman kepada takdir, Allah berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
22. “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
23. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS al-Hadid (57): 22-23)
Iman kepada takdir membuat seorang muslim tidak tenggelam dalam penderitaan atau tertipu oleh kenikmatan, karena dia sedar bahawa itu semua sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta, Yang Maha Bijaksana dan semua yang Allah tetapkan selalu menyimpan hikmah dan kebijaksanaan. Pendek kata iman kepada takdir dapat menghindarkan sesorang dari pedihnya keputus-asaan dan tipuan kesombongan. Di sisi lain Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat untuk kebaikan dirinya. Rasulullah SAW bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَان. رواه مسلم
“Bersunguh-sungguhlah meraih hal yang bermanfaat untukmu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan melemah. Jika Sesuatu menimpamu janganlah engkau berkata, ‘jika dulu aku lakukan ini pasti terjadi begini atau begitu.’ Tetapi katakanlah, Allah sudah menakdirkan, dan apa yang Allah kehendaki pasti terjadi. Kerana perkataan ‘kalau’ membuka perbuatan syaitan[1].” (HR Muslim)
Kesalahfahaman lain yang sering terjadi dalam beribadah juga adalah pemahaman bahwa ibadah hanyalah terbatas pada hal-hal ritual. Banyak umat Islam yang masih belum memahami universaliti Islam, bahawa perintah Allah juga menrangkumi segala kebaikan di pelbagai aspek kehidupan. Dengan ringan tangan, banyak muslim yang menginfakkan jutaan ringgit untuk pergi haji atau umrah. Tetapi jumlah seperti itu sukar didapatkan untuk membangun projek-projek yang berkaitan dengan kemaslahatan bersama. Umat Islam sedar kalau sholat mereka batal kalau mereka berhadas, tetapi banyak tidak khuatir seluruh amalnya batal karena rasuah, kronisme dan menipu.
Kesalahfahaman yang juga banyak terjadi adalah berlebih-lebihan dalam beragama. Ada yang berwudhu tapi sambil membuang air dengan membazir, ada yang sibuk mengucapkan niat sampai tidak dapat mengikuti sholat dengan baik dan khusyu’, ada yang sibuk dengan memendekkan pakaian sampai lupa memperhatikan hati dan memperbaiki akhlak. Ada yang terlalu berlebihan dalam masalah-masalah aqidah sampai mengkafirkan sebahagian besar umat Islam. Ada yang begitu membenci kekafiran tetapi lupa berdakwah dengan hikmah dan nasihat yang baik. Begitu bahayanya sikap berlebih-lebihan dalam agama sampai Rasulullah SAW memperingatkan:
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ. رواه النسائي وابن ماجه والبيهقي والطبراني في الكبير وابن حبان وابن خزيمة وصححه الألباني
“Jauhkan diri kalian dari berlebih-lebihan dalam agama. Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR an-Nasa’I, Ibnu Majah, al-Baihaqi, at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah, dan dishahihkan oleh al-Albani)
Begitu banyak kesalahan dalam beribadah terjadi kerana ketidakfahaman terhadap Islam. Sebahagian besar bersumberkan dari jauhnya umat Islam dari pemahaman yang baik terhadap Qur’an dan Sunnah. Jarak yang terjadi bervariasi, mulai dari yang tidak pernah membaca al-Qur’an sama sekali, sampai yang membaca tetapi tidak memahami maknanya. Ada yang memahami sebagian kecil lalu merasa cukup dan merasa sudah pandai, bahkan mengira bahawa Islam hanya terangkum dalam beberapa ayat dan hadith. Ada yang mengaku mengerti al-Qur’an dan meninggalkan Hadith. Ada juga yang serius dengan hadith Nabi SAW tapi justeru meninggalkan al-Qur’an dengan tidak mentadabburi al-Qur’an dengan rutin.
Apakah itu semua terjadi kerana memahami agama Islam itu sulit? Sama sekali tidak. Tetapi siapapun yang menghendaki suatu tempat tapi tidak melalui jalan yang sesuai pasti tidak akan sampai tujuan. Seperti dikatakan oleh seorang penyair:
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَمْ تَجْرِ عَلَى يَبَسِ
“Kau harap selamat tapi tidak menempuh jalannya
Sesungguhnya bahtera tidak berlayar di atas daratan kering”
Tentangan kedua dalam ibadah adalah diri manusia itu sendiri. Dia berhadapan dengan hawa nafsunya yang sering menggodanya untuk meninggalkan perintah Allah. Dia akan berhadapan godaan dari luar, tetapi semua terkait dengan kekuatan tekad dan keteguhan pendirian hamba Allah tersebut.
Ketika hawa nafsu mengajak kepada hal yang jelas dilarang barangkali masalah menjadi jelas. Yang lebih rumit adalah ketika hawa nafsu mengajak kepada hal yang samar (syubhat), disini dua persoalan merajut satu sama lain sehingga memperumitkan tentangan. Yang lebih rumit lagi adalah ketika hawa nafsu mendapatkan pembenaran yang palsu. Ketika dalil-dalil syar’I yang mutasyabihat (yang samar) dapat digunakan untuk membenarkan pelanggaran.
Semua tentangan itu tidak mudah. Karena itu ibadah seorang hamba tidak akan sempurna tanpa memohon pertolongan Allah. Oleh sebab itu jelas al-Fatihah yang harus diulang-ulang seorang muslim adalah: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.” (Kepada Engkau kami menyembah, dan kepada Engkau kami memohon pertolongan). Seorang muslim yang menyembah Allah tanpa memohon pertolongan dari-Nya, nescaya akan terjebak dan terjatuh dalam tentangan-tentangan yang sulit dalam perjalan hidup yang penuh dengan ujian.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita. Wallahu waliyyut taufiq.
_______________________________________________________________________
[1] Yang dimaksud bahwa kalau membuka amal syaitan dalam hadits ini adalah menyesali masa lalu dan berandai-andai hingga menyiksa diri, padahal masa lalu tak akan diperbaiki hanya dengan penyesalan dan berndai-andai.
No comments:
Post a Comment